Jenderal (Purn) Hoegeng Imam Santoso

Author: chE' budhievara / Label:

Adakah dijaman yang tergesa tersedia jeda? Sedikit berhenti menginterupsi waktu. Mengajak kembali ingatan menandai yang silam.  Dari jejak dibelakang, kita mengenali tempat berhenti, semacam ruang baca dan juga halte sejarah. Berhenti sejenak, luangkan waktu membaca sejarah. Coba buka catatan kusam kita. Buka lembaran yang jarang di eja. Sejarah dari orang-orang yang ajeg sederhana. Bukan melihat monumen-monumen kaku yang terasa congkak di sudut pusat kota. 

Bukankah sejarah tidak melulu soal catatan peristiwa tapi juga berisi kisah yang personal. Bahkan dari yang begitu pribadi, kisah lebih terasa karib untuk dibaca dan di renungkan. Mungkin semacam contoh. Mungkin juga sebentuk bahan pelajaran. Ini penting untuk sekarang ini. Ini penting untuk kita, terutama pejabat negara. Ini penting untuk Indonesia.

Kisah Jenderal Hoegeng Imam Santoso, almarhum, salah satunya. Kenapa Hoegeng? Mungkin karena kita butuh sesuatu yang pernah tercatat ajeg. Ini penting untuk hari ini ditengah hirukpikuk ketidakpastian sikap. Jenderal ringkih kelahiran Pekalongan, , Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921, pantas di ulang tanpa lelah sebagai sebuah contoh. Nama Hoegeng itu sendiri, sebenarnya cuma nama sebutan fisik. 

Waktu kecil Pak Hoegeng, dipanggil bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi bugeng, akhirnya berubah jadi hugeng. Nama aslinya sendiri cuma Imam Santoso yang dipilihkan ayahnya, Sukario Hatmodjo, pernah menjadi kepala kejaksaan di Pekalongan; bertiga dengan Ating Natadikusumah, kepala polisi, dan Soeprapto, ketua pengadilan. 

Mereka menjadi tiga sekawan penegak hukum yang jujur, professional.  Ketiganya inspirasi bagi Hoegeng kecil. Bahkan  karena kagum pada Ating-yang gagah, suka menolong orang, dan banyak teman, Hoegeng kecil ingin jadi polisi. 

Memang sampai tua, Pak Hoegeng tidak bugel alias gemuk. Pak Hoegeng tidak bertubuh tambun subur berglambir lemak. Tubuhnya, bahkan lebih terlihat ringkih ketimbang tegap, apalagi tambun. Tapi jangan tanya soal ketegasan. Pak Hoegeng memegang itu sebagai prinsip hidup. Lewat tangannya, keadilan terasa lebih bisa diraba. 

Jabatan bagi Hoegeng bukan soal tuah untuk diri sendiri. Bukan pula soal pamrih berlebih. Jabatan bagi pak Hoegeng adalah soal kadar pengabdian pada khalayak. Dia tahu itu tidaklah lempang. Kekuasaan pastinya juga berbicara syahwat. Sekali tersingkap, mungkin yang dekat akan terjerat. Dia tahu itu, oleh karena itu Pak Hoegeng yang sederhana menjaga jarak. 

Kisah tentang toko kembang
Ada sebuah cerita soal itu. Waktu itu mendiang Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum pelantikannya, Pak Hoegeng meminta istri, Ibu Merry agar menutup segera toko kembang miliknya yang terletak di sebuah sudut Jalan Cikini. Padahal toko kembang itu, salahsatu penopang tambahan kebutuhan hidupnya. Sungguh kontras memang. Jabatan bagi Pak Hoegeng bukan soal lahan bancakan. Jabatan hanya sebagai lahan pengabdian dan ibadah, titik! 

Kembali ke soal toko kembang. Waktu itu sang Istri sedikit protes dan bertanya, "Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan Kepala Jawatan Imigrasi?" Pak Hoegeng menjawab kalem tapi tegas, "Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kita dan itu tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya."

Jawaban itu, sungguh sangat mengharukan.  Sebuah sikap tegas yang dibarengi sikap sederhana. Padahal kalau berkenan, tinggal membalik tangan Pak Hoegeng kaya dari jabatan. Pelajaran yang begitu berharga tentang sikap anti nepotisme dari petinggi polisi yang dilahirkan di kota Batik, Pekalongan. Yang menarik sang istri kemudian menutup toko itu. Dia mengerti sikap tegas suaminya. Dia paham Pak Hoegeng sangat keras menolak aji mumpung pangkat dan jabatan. Mungkin juga, karena itu Ibu Merry jatuh cinta. Mungkin..

Polisi  yang tegak berprinsip
Masih dari kisah jabatan Kepala Jawatan Imigrasi. Karena jabatan itu, Pak Hoegeng mendapat jatah mobil dinas keluaran baru. Tapi anehnya, dia masih bersikukuh dengan mobil  dinas lawas, jatahnya saat masih di bertugas di kepolisian. Dia berkilah, mobil jip lawas dari Kepolisian  juga milik negara. Dirinya merasa cukup dengan itu selama masih layak dipergunakan dan tidak sertamerta karena jabatan, terus manja dan rakus.  Soal aji mumpung jauh dari sifatnya. Apalagi mengail di air keruh. Pak Hoegeng jauh dari laku seperti itu. 

Sebagai polisi, Pak Hoegeng adalah sosok tegas membaja. Polisi dimatanya penegak hukum, titik! Tidak ada kompromi. Tidak ada bagi-bagi hasil dibawah tangan. Apalagi soal salam tempel amplop berisi duit jual kasus. Karena sikap seperti itulah dia terpental dari jabatan elit kepolisian Indonesia yang di pegangnya antara 1968-1971. 

Kala itu, Pak Hoegeng mengungkap kasus penyelundupan mobil kelas kakap yang dilakukan oleh Robby Cahyadi. Si pelaku di sebut punya kaitan dengan kalangan istana. Tapi betapa kecewanya, saat dia akan melaporkan itu ke Presiden, sang buruan sedang asyik bercengkrama di Cendana.  Ternyata benar, kekuasaan kongkalikong dengan keculasan. Jelas karena itu Sang Jenderal murka. Sejak saat itu, pupus sudah kepercayaan kepada kekuasaan. Pun pada pucuk pimpinan negara bernama Soeharto.

Karena itu pula, Pak Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri sebelum masa jabatannya habis.  Tepatnya  1970, Soeharto mencopot jabatan itu dari pundak Pak Hoegeng dengan alasan regenerasi. Tapi aneh, penggantinya, Muhammad Hassan. Justru lebih tua darinya. Artinya dia menyadari, kekuasaan sudsah tidak suka sepak terjang membenahi korps kepolisian. Sebagai penghibur, Pak Hoegeng ditawari jabatan sebagi duta besar di Belgia. Tapi Pak Hoegeng menampik. 

Dia menukas tegas soal penolakan tawaran tersebut, "Saya tidak punya keterampilan basa-basi seorang duta besar!". Mungkin penolakan tersebut sebentuk resistensi yang tumbuh menguat dalam dirinya. Karena selepas itu, dia mulai mengambil posisi bersebrangan dengan kekuasaan. Dia mencoba memberi batas semakin tegas dengan wajah kekuasaan. Bersama Jenderal (Purn) Nasution dan Proklamator Bung Hatta, dia aktif di Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). Sebuah lembaga yang mencoba memuat suara lain diluar tubuh negara tentang bagaimana berkonstitusi  dengan suara hati nurani. 

Sepertinya kejengkelan penguasa pada Pak Hoegeng yang tidak kunjung manut tidak juga hilang. Saking jengkelnya, ada cerita soal ini. selepas pensiun Pak Hoegeng menyalurkan hobi menyanyi di TVRI lewat kelompok Hawaian Seniors. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena kemudian muncul larangan tampil bagi Pak Hoegeng di layar televisi plat merah tersebut. Pastinya Soeharto sudah sangat jengkel, maka setiap ruang rambah Pak Hoegeng coba di sumbatnya. Pun untuk sekedar tarik suara.Tidak berhenti karena di sumbat dilayar kaca. Pak Hoegeng menempuh jalur lain. 

Mulai dari Mei 1980 Pak Hoegeng bergabung dalam kelompok petisi lima puluh. Sebuah kelompok yang menyuarakan keprihatinan terhadap tindak-tanduk penyelenggaraan kekuasaan negara saat itu. Dalam kelompok tersebut memang bergabung beberapa pensiunan pejabat polisi dan militer, disamping tokoh-tokoh sipil lainnya. Seperti Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dan HR. Darsono, Mantan Pangdam Siliwangi. 

Keterlibatan di kelompok Petisi 50, berbuah cekal bagi Pak Hoegeng. Itu sepertinya biasa bagi  Mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor di Indonesia tersebut. Jenderal polisi yang dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), bahkan sering turun ke lapangan. Syahdan, Pak Hoegeng, lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952), memimpin langsung operasi balapan liar di sekitar jalan Taman Soerapati, Jakarta, sekitar tahun 70an. Kepada anak buahnya dia berkata tegas, "Tangkap saja anak-anak muda yang nakal itu! Kalau bapaknya sok ikut campur, nanti saya yang akan hadapi sendiri!". 

Kisah lainnya masih tentang ketegasan tanpa tedeng aling-aling. Ceritanya di kota Medan, seorang pejabat baru kepolisian bikin geger. Seorang Kepala Reskrim  baru pindahan dari Jawa Timur, menolak keras hadiah dari para cukong. Padahal nilainya menggiurkan. Perabotan luks dikirim ke kediaman Reskrim baru tersebut. Kota itu memang marak dengan kisah para cukong penyelundupan yang makmur juga tebaran lapak judi dimana-mana. Kiriman sogok itulah yang dimaksudkan untuk membungkam aparat. Tapi kali ini meleset, si aparat baru meradang karena di sogok. 

Kiriman itu bahkan dibuangnya di pinggir jalan. Kita pada akhirnya mencatat, siapa sosok nekad tersebut. Namanya Hoegeng Imam Santoso. Kelak nama itu kita kenang sebagai tonggak kejujuran  yang sederhana. Berbanggalah Kepolisian Republik ini, mempunyai tokoh komplet seperti Pak Hoegeng. 

Bahkan saking sederhananya. Lepas dari Medan, Pak Hoegeng kembali ke Jakarta. Karena belum dapat rumah tinggal, dia menumpang di garasi mertuanya di daerah Menteng. Padahal dia bekas Kepala Reskrim. Teramat langka memang sikap hidup seperti Pak Hoegeng. Beragam tugas pernah diemban, bapak yang dikarunia tiga anak tersebut diluar dari tugasnya sebagai polisi. Mulai dari Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965), Menteri Iuran Negara (1966-1967) dan Deputi Operasi Menpangak (1967-1968). 

Jakarta, 14 Juli 2004
Tengah malam lewat setengah jam, Pak Hoegeng menghembus nafas terakhir. Setelah dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati karena Stroke, penyumbatan pembuluh darah dan pendarahan bagian lambung. Tuhan berkehendak lain. Kabar terpetik, Sang Jenderal pun mangkat di RSCM, Jakarta. Simbol keteladanan dan kejujuran Polri tersebut meninggalkan tanah air yang teramat dicintainya.  

Kita menundukan kepala. Merunduk ke tanah sembari ingatan  terus mencatat. Yang datang pastinya dibatasi kepergian. Pun soal memiliki pasti ada interupsi soal kehilangan. Tengah malam lewat, tepatnya pukul  00.30 WIB, Jenderal sederhana itu pergi. Bahkan untuk pemakamannya, Pak Hoegeng mewanti-wanti, kelak kalau meninggalkan, dirinya tidak ingin dikebumikan di Kalibata, makam para pahlawan nasional. 

Dirinya ingin dimakamkan di pemakaman biasa. Pada akhirnya, TPU Giritama, Desa Tonjong, Bojong Gede, Bogor, dipilih sebagai tempat peristirahatannya terakhir. Sekitar pukul 14.00 WIB, jenazah Jenderal ringkih menyatu dengan tanah. Sudah habis tugas kesejarahannya. Yang tertinggal mungkin cuma jejak. Mudahan-mudahan ingatan bangsa tidak dikalahkan lupa, bahwa bangsa ini pernah memiliki polisi yang tahu arti kejujuran. Selamat jalan Pak Hoegeng...

~ sumber http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=21&jd=Jujurnya+Pak+Hoegeng&dn=20070720171619 ~